Selasa, 22 November 2011

Sekilas Kisah Dibalik Pulau Ujung Barat Indonesia ( SABANG).
  oleh : Ryanda Saputra Mz


                  
                    Menurut stimulus kami sebelumnya, kami akan menyebrang menggunakan kapal lambat, dengan di pengaruhi faktor teknis oleh para panitia tour (guru) yang kurang berkompoten, yakni terlambatnya mengorder tiket, disitu kami terpaksa harus memarjinalkan biaya untuk membeli tiket kapal Pulo Rondo, Saat menunggu keberangkatan kapal, kami menyempatkan diri berkeliling di sekitar Pantai Ulee Lhuee yang tampak begitu cantik. Di pantai itu, pada saat air sedang surut, beberapa karang akan nampak bermunculan dari batas permukaan air. Dari kejauhan, panorama bukit pun nampak asri. Dari kejauhan pula, saya melihat sebuah menara mercusuar yang tingginya kurang lebih 100 meter. Menara mercusuar itu pun tampak rusak akibat tsunami, demikian pula rumah-rumah penduduk di sekitarnya.
Hari itu cuaca lumayan cerah saat kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Balohan yang terletak di Pulau Weh, Pulau yang dikenal sebagai “titik nol kilometer Indonesia”. Pulau Weh terdiri atas beberapa kepulauan kecil dengan Kotamadya Sabang sebagai Ibu Kotanya. Disinilah Pemerintah mendirikan sebuah monumen sebagai tanda dimulainya penghitungan jarak dan luas wilayah Negara Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tempat pertama yang kami tuju adalah mencari tempat penginanpan, karena kami akan berada beberapa hari disana.
Kesokan harinya, Bus Damri milik pemerintahan Kota Sabang pun siap memboyong kami buat menikmati keindahan di pulau itu, tempat pertama kami kunjungi itu adalah anoe hitam, disana kami mencoba mencari sesuatu yang beda, namun sekian lama kami berjalan menelusuri panjangnya bibir pantai anoe hitam, kami baru menyadari bahwa pasir yang bertaburan itu memiliki ciri khas tersendiri dan tentunya sulit untuk di temukan di daerah lain, sebahagian dari kami pun tak tahan dengan memandang keelokan laut yang begitu menggoda sehingga manghentakkan nafsu untuk menjeburkan diri kedalam biruan air laut itu. Kami sudah merasa sedikit jenuh di anoe hitam, dan memutuskan untuk pindah lokasi, hasil dari rembukan para panitia tour, akhirnya, kami bergeraklah menuju air terjun. Nah, disini kami berjalan sambil mendaki gunung dan semaknya hutan belukar yang dihiasi sebuah sungai dengan batuan-batuan besar yang berserakan di dalamnya seraya menjinjing sebungkus nasi buat bekal di air terjun nantinya.
Perjalanan ini diwarnai oleh adegan-adegan yang cukuplah extrim, mulai terplesetnya dari batuan besar itu sampai terjebur kesungai hingga terkapar lesu dan, bahkan ada yang hampir mengakhiri kehidupan disana. Secara logika perjalanan itu hanya bisa di lewati oleh pribadi-pribadi yang pantas, tapi adegan-adegan itu tak membuat kami menyerah, dengan bermodal semangat rekreasi yang begitu besar dan di barengi picuan spectrum adrenalin yang anti biasa,segala rintangan pun terlewati. 
Akhirnya, tibalah kami di air terjun. Mengingat banyaknya terjadi adegan-adegan yang praduga tadi maka dengan penuh pertimbangan seraya rasa kekhawatiran yang begitu mendalam dari para guru, kami pun tak sempat berleha-leha disana, selesai santapan nasi, kami segera bertolak pulang untuk menuju penginapan. 
Hari selanjutnya.Monumen Nol Kilometer adalah target kami. monumen tersebut. Jarak tempuh dari penginapan kami adalah sekitar satu setengah jam, melalui jalanan mendaki yang lebar dan mulus di sepanjang Kota Sabang. Dari tiap kelokan jalan, kami dapat melihat bukit dan lautan berpadu dengan kontras. Dengan jalan aspal yang labih berkualitas dari sebelumnya, jalan masuk menuju Monumen Nol Kilometer sangatlah sempit sehingga hanya muat dilalui oleh satu kendaraan saja. Monumen itu sendiri terletak di atas sebuah bukit. kami melanjutkan perjalanan ke atas bukit. Tampak semak belukar di kiri-kanan badan jalan. Mobil yang kami tunggangi pun bergerak lamban karena kondisi jalan yang sempit. Ditengah perjalanan, kami dihadang oleh segerombolan kera. Rupanya kera-kera tersebut sudah terbiasa dengan kehadiran manusia. Banyak wisatawan yang menuju ke tempat ini sengaja menyediakan makanan bagi kera-kera tersebut. Tapi saat itu, kami belum mengerti dengan keadaan itu sehingga kami tidak mempersiapkan makanan kecil buat makhluk Tuhan yang satu itu.
Akhirnya, tibalah kami di Monumen Nol Kilometer. Sepanjang mata memandang dari atas bukit itu, tampak hamparan luas samudera dan kepulauan, termasuk Pulau Sabang. tapi sangat ku sesali tidak semua dari kami bisa menikmati kondisi di goegrafis paling ujung Indonesia itu karena salah satu dari rekan kami (zikri gaul) mengalami gangguan fisik( mabok mobil) sebagai akibat dari perjalan jauh dan belokan-belokan yang memutar menuju monument tersebut dengan menggunakan damri tadi.sehingga ia hanya mampu berbaring di atas sebuah batu gunung yang besar sambil menunggu kami kembali. 
Usai menginjakkan kaki di titik nol-nya Indonesia, kami bergegas turun menuju pantai yang tercantik di Pulau Sabang yaitu Pantai Iboih dan Gapang. Disana hamparan lembut pasir putih terasa menyilaukan mata; perairan di pantai itu pun berhias dengan terumbu karang dan ikan laut aneka ragam, warna, dan rupa.
Kebanyakan turis mancanegara yang sempat saya introgasi, datang ke pantai ini untuk menyelam dan surfing. Di tempat inipun kita dapat menyewa perahu untuk berkeliling, hingga ke tengah laut. Sebagian perahu bahkan didesain secara khusus sehingga para penyewa perahu dapat menikmati keindahan alam bawah laut melalui kaca bening tebal yang terletak tepat didasar perahu. Tarif sewa untuk perahu itu seharga Rp 80,000 per jam.sedihnya kepiluanpun melanda kami, hal ini di picu kabendaharaan kami yang sudah menyusut alias “hansep le peng”, sehingga kami tak dapat ikut bersama sebahagian rekan-rekan kami. Yang mana mereka memilih satu perahu dan menikmati keindahan alam bawah laut : terumbu karang, ikan-ikan, dan aneka ragam hayati laut lainnya. Kebeningan air laut yang masih jauh dari polusi amat menunjang kemampuan mata untuk menikmati keindahan alam hayati di Pulau Sabang. Dari bagian laut yang lebih dangkal, terlihat jelas semburat rumput laut dengan warna kehijauan berpadu padan dengan kemilau biru samudera. alam bawah laut di Pulau Sabang ini merupakan salah satu yang terindah di wilayah Indonesia. Sangat di sayangkan, keajaiban dunia pariwisata di tempat ini belum mampu merangsang minat para wisatawan mancanegara karena faktor keamanan dan lamanya pemberlakuan status darurat militer oleh Pemerintah Pusat saat konflik RI vs GAM.


Terlepas dari minimnya angka wisatawan asing yang datang, fasilitas di Pantai Iboih ini terbilang lengkap. Di lokasi ini terdapat hotel, mulai dari yang mewah hingga yang sederhana.tetapi kami tetap memilih panenginapan yang relative murah walaupun layaknya kualitas masih di bawah lumanyan. Kemudian dari kejauhan kami hanya bisa mencium aroma dari sebuah Rumah makan yang tersedia di sana dan tampak bersih dengan sajian menu yang lengkap. Di tempat ini pun tidak sulit menemukan Mesjid. Dan salah satu yang menjadi keunikan dari Pulau Sabang ini adalah banyaknya mobil mewah - mulai dari BMW, Mercedes, dan sederet mobil-mobil produksi Eropa - yang dijual dengan harga “sangat murah” atau hanya sekitar separuh saja dari harga jual di mindan, manda aceh, sentosa maupun kota besar lainnya. Hal ini terjadi karena pemberlakukan kebijakan “kawasan bebas pajak” di wilayah ini. Tetapi jangan sekali-kali membawa mobil-mobil mewah itu keluar dari Pulau Sabang, karena akan menjadi subyek pajak barang mewah yang nominalnya mencapai 100 persen dari harga mobilnya sendiri.makanya jangan coba-coba buat ngebisnis atau memasarkan mobil sabang ke black market(pasar ilegal)..huuftt,,,Jam pun menunjukkan waktu untuk saatnya kami kembali ke penginapan.
Waktu pun terus berjalan, tanpa terasa malam telah menjelang dan fajar pun terbit. Kondisi ini bermakna saatnya kami memutuskan kembali ke Pelabuhan Balohan, untuk menaiki kapal dan langsung bertolak ke bornun. Setelah membeli tiket masuk kapal dengan harga jauh berbeda saat kami akan berangkat ke Pulau Weh, saya pun menaiki kapal. Dari atas kapal , saya menatap lurus pulau-pulau yang nampak mengecil dari pandangan mata.dan menyisih sedikit peluang untuk menjempat-jempret alias berfoto baik sesama maupun dengan rombongan lain. Ingin rasanya saya tinggal lebih lama disana, menikmati keindahan alam Sabang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar